Di bulan Januari, inflasi AS tercatat melonjak tertinggi dalam 40 tahun terakhir, di 7.5%.
Hal ini terjadi seiring dengan meningkatnya permintaan domestik di tengah pembukaan aktivitas ekonomi, namun juga terjadinya kelangkaan persediaan bahan baku dan tenaga kerja. Oleh karena itu, sinyal kenaikan suku bunga pun semakin dekat dan cepat, dengan Fed melakukan pertemuan darurat di 14 Februari 2022, segera setelah angka inflasi tersebut dirilis.
Kenaikan suku bunga diperkirakan akan naik setidaknya tiga hingga empat kali di 2022 dengan potensi tambahan kenaikan jika inflasi terus menanjak. Tak hanya itu, setelah melakukan tapering sejak akhir tahun 2021, juga akan memulai pengurangan neraca keuangan yang meningkat signifikan akibat pandemi COVID-19. Tentunya hal ini akan sangat berdampak pada obligasi atau surat hutang pemerintah Indonesia. Kebijakan The Fed ini tentunya akan memberikan tekanan terhadap pasar obligasi Indonesia.
Namun demikian, dengan kebijakan akomodatif pemerintah Indonesia dan fundamental ekonomi Indonesia yang sangat solid seperti tingkat inflasi yang masih terkendali di level 2.17%, cadangan devisa Indonesia yang besar di level US$ 141.3 miliar, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia di level 5.02%, dan kestabilan nilai tukar Rupiah yang berada di kisaran 14,350 -14,450, tentunya akan memberikan ketahanan yang cukup baik untuk obligasi pemerintah Indonesia. Sementara itu aliran dana asing masih masuk ke pasar obligasi Indonesia, terbukti sejak awal tahun masih membukukan surplus USD$ 166 miliar.
Untuk itu, investor dapat memanfaatkan volatilitas pergerakan pada pasar modal global untuk kembali melakukan akumulasi pada portfolio investasi reksa dana USD Anda. Anda dapat mengunjungi website kami di https://www.ocbcnisp.com/id/individu/wealth-management/reksa-dana untuk informasi lebih lanjut, menghubungi Relationship Manager Anda, atau kunjungi cabang OCBC NISP terdekat.